PENDAHULUAN
Serat Pararaton, atau Pararaton saja (bahasa Kawi: "Kitab Raja-Raja"), adalah sebuah kitab naskah Sastra Jawa Pertengahan
yang digubah dalam bahasa Jawa Kawi. Naskah ini cukup singkat, berupa
32 halaman seukuran folio yang terdiri dari 1126 baris. Isinya adalah
sejarah raja-raja Singhasari dan Majapahit di Jawa Timur. Kitab ini juga dikenal dengan nama "Pustaka Raja", yang dalam bahasa Sanskerta juga berarti "kitab raja-raja". Tidak terdapat catatan yang menunjukkan siapa penulis Pararaton.
Pararaton diawali dengan cerita mengenai inkarnasi Ken Arok, yaitu tokoh pendiri kerajaan Singhasari (1222–1292).[1][2]
Selanjutnya hampir setengah kitab membahas bagaimana Ken Arok meniti
perjalanan hidupnya, sampai ia menjadi raja di tahun 1222. Penggambaran
pada naskah bagian ini cenderung bersifat mitologis.
Cerita kemudian dilanjutkan dengan bagian-bagian naratif pendek, yang
diatur dalam urutan kronologis. Banyak kejadian yang tercatat di sini
diberikan penanggalan. Mendekati bagian akhir, penjelasan mengenai
sejarah menjadi semakin pendek dan bercampur dengan informasi mengenai silsilah berbagai anggota keluarga kerajaan Majapahit.
Penekanan atas pentingnya kisah Ken Arok bukan saja dinyatakan
melalui panjangnya cerita, melainkan juga melalui judul alternatif yang
ditawarkan dalam naskah ini, yaitu: "Serat Pararaton atawa Katuturanira Ken Angrok", atau "Kitab Raja-Raja atau Cerita Mengenai Ken Angrok". Mengingat tarikh yang tertua yang terdapat pada lembaran-lembaran naskah
adalah 1522 Saka (atau 1600 Masehi), diperkirakan bahwa bagian terakhir
dari teks naskah telah dituliskan antara tahun 1481 dan 1600, dimana
kemungkinan besar lebih mendekati tahun pertama daripada tahun kedua.
ISI LEBIH LANJUT
Pararaton dimulai dengan pendahuluan singkat mengenai bagaimana Ken
Arok mempersiapkan inkarnasi dirinya sehingga ia bisa menjadi seorang
raja.[1] Diceritakan bahwa Ken Arok menjadikan dirinya kurban persembahan (bahasa Sanskerta: yadnya) bagi Yamadipati,
dewa penjaga pintu neraka, untuk mendapatkan keselamatan atas kematian.
Sebagai balasannya, Ken Arok mendapat karunia dilahirkan kembali
sebagai raja Singhasari, dan di saat kematiannya akan masuk ke dalam
surga Wisnu.
Janji tersebut kemudian terlaksana. Ken Arok dilahirkan oleh Brahma melalui seorang wanita dusun yang baru menikah. Ibunya meletakkannya di atas sebuah kuburan
ketika baru saja melahirkan; dan tubuh Ken Arok yang memancarkan sinar
menarik perhatian Ki Lembong, seorang pencuri yang kebetulan lewat. Ki
Lembong mengambilnya sebagai anak dan membesarkannya, serta
mengajarkannya seluruh keahliannya. Ken Arok kemudian terlibat dalam perjudian, perampokan dan pemerkosaan.
Dalam naskah disebutkan bahwa Ken Arok berulang-kali diselamatkan dari
kesulitan melalui campur tangan dewata. Disebutkan suatu kejadian di
Gunung Kryar Lejar, dimana para dewa turun berkumpul dan Batara Guru menyatakan bahwa Ken Arok adalah putranya, dan telah ditetapkan akan membawa kestabilan dan kekuasaan di Jawa.
Pendahuluan Pararaton kemudian dilanjutkan dengan cerita mengenai pertemuan Ken Arok dengan Lohgawe, seorang Brahmana yang datang dari India untuk memastikan agar perintah Batara Guru dapat terlaksana. Lohgawe kemudian menyarankan agar Ken Arok menemui Tunggul Ametung, yaitu penguasa Tumapel. Setelah mengabdi berberapa saat, Ken Arok membunuh Tunggul Ametung untuk mendapatkan istrinya, yaitu Ken Dedes; sekaligus tahta atas kerajaan Singhasari.
ANALISA NASKAH
Beberapa bagian Pararaton tidak dapat dianggap merupakan fakta-fakta
sejarah. Terutama pada bagian awal, antara fakta dan fiksi serta
khayalan dan kenyataan saling berbaur. Beberapa pakar misalnya C.C. Berg
berpendapat bahwa teks-teks tersebut secara keseluruhan supranatural
dan ahistoris, serta dibuat bukan dengan tujuan untuk merekam masa lalu
melainkan untuk menentukan kejadian-kejadian di masa depan.[3]
Meskipun demikian sebagian besar pakar dapat menerima pada tingkat
tertentu kesejarahan dari Pararaton, dengan memperhatikan
kesamaan-kesamaan yang terdapat pada inskripsi-inskripsi lain serta
sumber-sumber China, serta menerima lingkup referensi naskah tersebut
dimana suatu interpretasi yang valid dapat ditemukan.[1]
Haruslah dicatat bahwa naskah tersebut ditulis dalam pemahaman
kerajaan masyarakat Jawa. Bagi masyarakat Jawa, merupakan fungsi seorang
raja untuk menghubungkan masa kini dengan masa lalu dan masa depan; dan
menetapkan kehidupan manusia pada tempatnya yang tepat dalam
tata-aturan kosmis. Raja melambangkan lingkup kekuasaan Jawa,
pengejawantahan suci dari negara secara keseluruhan; sebagaimana
istananya yang dianggap mikrokosmos dari keadaan makrokosmos.[1] Seorang raja (dan pendiri suatu dinasti) dianggap memiliki derajat kedewaan, dimana kedudukannya jauh lebih tinggi daripada orang biasa.
J.J. Ras membandingkan Pararaton secara berturut-turut dengan Prasasti Canggal (732), Prasasti Śivagŗha (Siwagrha) (856), Calcutta Stone (1041) dan Babad Tanah Jawi
(1836). Perbandingan tersebut menunjukkan kesamaan-kesamaan yang jelas
dalam karakter, struktur dan fungsi dari teks-teks tersebut serta
kesamaan dengan teks-teks historiografi Melayu[4].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar