Agama
Pada Massa Majapahit
AGAMA PADA MASSA MAJAPAHIT
Majapahit banyak meninggalkan
tempat-tempat suci, sisa-sisa sarana ritual keagamaan masa itu.
Bangunan-bangunan suci ini dikenal dengan nama candi, pemandian suci
(pertirtan) dan gua-gua pertapaan. Bangunan-bangunan survei ini kebanyakan
bersifat agama siwa, dan sedikit yang bersifat agama Buddha, antara lain Candi
Jago, Bhayalangu, Sanggrahan, dan Jabung yang dapat diketahui dari ciri-ciri
arsitektural, arca-arca yang ditinggalkan, relief candi, dan data tekstual,
misalnya kakawin Nagarakretagama, Arjunawijaya, Sutasoma,
dan sedikit berita prasasti.
Di samping perbedaan latar belakang
keagamaan, terdapat pula perbedaan status dan fungsi bangunan suci. Berdasarkan
status bangunan suci, kita dapat kelompokkan menjadi dua, yaitu bangunan yang
dikelola oleh pemerintah pusat dan yang berada di luar kekuasaan pemerintah
pusat.
Bangunan suci yang dikelola
pemerintah pusat ada dua macam, yaitu:
1. Dharma-Dalm, disebut pula Dharma-Haji yaitu bangunan suci yang diperuntukkan bagi raja beserta keluarganya. Jumlah dharma-haji ada 27 buah, di antaranya Kegenengan, Kidal, Jajaghu, Pikatan, Waleri, Sukalila, dan Kumitir.
2. Dharma-Lpas, yaitu bangunan suci yang dibangun di atas tanah wakaf (bhudana) pemberian raja untuk para rsi-saiwa-sogata, untuk memuja dewa-dewa dan untuk mata pencarian mereka.
1. Dharma-Dalm, disebut pula Dharma-Haji yaitu bangunan suci yang diperuntukkan bagi raja beserta keluarganya. Jumlah dharma-haji ada 27 buah, di antaranya Kegenengan, Kidal, Jajaghu, Pikatan, Waleri, Sukalila, dan Kumitir.
2. Dharma-Lpas, yaitu bangunan suci yang dibangun di atas tanah wakaf (bhudana) pemberian raja untuk para rsi-saiwa-sogata, untuk memuja dewa-dewa dan untuk mata pencarian mereka.
Sedangkan bangunan suci yang berada
di luar pengelolaan pemerintah pusat kebanyakan adalah milik prasasti rsi,
antara lain mandala, katyagan, janggan. Secara umum
bangunan ini disebut patapan atau wanasrama karena letaknya
terpencil. Mandala yang dikenal sebagai kadewaguruan adalah tempat pendidikan
agama yang dipimpin oleh seorang siddharsi yang disebut pula dewaguru.
Berdasarkan fungsinya, candi-candi
masa Majapahit dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
1. Candi-candi yang memunyai dua fungsi, yaitu sebagai pendharmaan raja dan keluarganya, juga sebagai kuil pemujaan dewa dengan ciri adanya tubuh candi dan ruang utama (garbhagrha) untuk menempatkan sebuah arca pendharmaan (dewawimbha), misalnya Candi Jago, Pari, Rimbi, Simping (Sumberjati).
1. Candi-candi yang memunyai dua fungsi, yaitu sebagai pendharmaan raja dan keluarganya, juga sebagai kuil pemujaan dewa dengan ciri adanya tubuh candi dan ruang utama (garbhagrha) untuk menempatkan sebuah arca pendharmaan (dewawimbha), misalnya Candi Jago, Pari, Rimbi, Simping (Sumberjati).
2. Candi-candi
yang hanya berfungsi sebagai kuil pemujaan, dengan ciri tidak memunyai garbhagrha
dan arca pendharmaan/perwujudan; tubuh candi diganti dengan altar atau
miniatur candi. Candi-candi kuil ini kebanyakan dipakai oleh para rsi dan
terletak di lereng-lereng gunung, misalnya di lereng Gunung Penanggungan, Lawu,
Wilis, dsb.
Berdasarkan sumber tertulis,
raja-raja Majapahit pada umumnya beragama Siwa dari aliran Siwasiddhanta
kecuali Tribuwanattungadewi (ibunda Hayam Wuruk) yang beragama Buddha Mahayana.
Walau begitu agama Siwa dan agama Buddha tetap menjadi agama resmi kerajaan
hingga akhir tahun 1447. Pejabat resmi keagamaan pada masa pemerintahan Raden
Wijaya (Kertarajasa) ada dua pejabat tinggi Siwa dan Buddha, yaitu Dharmadyaksa
ring Kasaiwan dan Dharmadyaksa ring Kasogatan, kemudian lima pejabat
Siwa di bawahnya yang disebut Dharmapapati atau Dharmadihikarana.
Selain itu terdapat pula para
agamawan yang mempunyai peranan penting dilingkungan istana yang disebut tripaksa
yaitu rsi-saiwa-sagata (berkelompok tiga) dan catur dwija yaitu mahabrahmana
(wipra)-saiwa-sogata-rsi (berkelompok empat).
Pembaruan/pertemuan agama Siwa dan
agama Buddha pertama kali terjadi pada masa pemerintahan Raja Kertanagara, raja
terakhir Singasari. Apa maksudnya belum jelas, mungkin di samping sifat
toleransinya yang sangat besar, juga terdapat alasan lain yang lebih bersifat
politik, yaitu untuk memperkuat diri dalam menghadapi musuh dari Cina, Kubilai
Khan. Untuk mempertemukan kedua agama itu, Kertanagara membuat candi
Siwa-Buddha, yaitu Candi Jawi di Prigen dan Candi Singasari di dekat Kota
Malang.
Pembaruan agama Siwa-Buddha pada
zaman Majapahit, antara lain, terlihat pada cara mendharmakan raja dan
keluarganya yang wafat pada dua candi yang berbeda sifat keagamaannya. Hal ini
dapat dilihat pada raja pertama Majapahit, yaitu Kertarajasa, yang didharmakan
di Candi Sumberjati (Simping) sebagai wujud siwa (Siwawimbha) dan di Antahpura
sebagai Buddha; atau raja kedua Majapahit, yaitu Raja Jayabaya yang didharmakan
di Shila Ptak (red. Sila Petak) sebagai Wisnu dan di Sukhalila sebagai Buddha.
Hal ini memperlihatkan bahwa kepercayaan di mana Kenyataan Tertinggi dalam
agama Siwa maupun Buddha tidak berbeda.
Agama Siwa yang berkembang dan dipeluk
oleh raja-raja Majapahit adalah Siwasiddhanta (Siddantatapaksa) yang mulai
berkembang di Jawa Timur pada masa Raja Sindok (abad ke-10). Sumber ajarannya
adalah Kitab Tutur (Smrti), dan yang tertua adalah Tutur
Bhwanakosa yang disusun pada zaman Mpu Sindok, sedang yang termuda dan
terpanjang adalah Tutur Jnanasiddhanta yang disusun pada zaman
Majapahit. Ajaran agama ini sangat dipegaruhi oleh Saiwa Upanisad, Vedanta, dan
Samkhya. Kenyataan Tertinggi agama ini disebut Paramasiwa yang disamakan
dengan suku Kata suci “OM”. Sebagai dewa tertinggi, Siwa memunyai tiga hakikat
(tattwa) yaitu:
• paramasiwa-tattwa yang bersifat tak terwujud (niskala);
• sadasiwa-taattwa yang bersifat berwujud-tak berwujud (sanakala-niskala);
• siwa-tattwa yang bersifat berwujud (sakala).
• paramasiwa-tattwa yang bersifat tak terwujud (niskala);
• sadasiwa-taattwa yang bersifat berwujud-tak berwujud (sanakala-niskala);
• siwa-tattwa yang bersifat berwujud (sakala).
Selain agama Siwasiddhanta dikenal
pula aliran Siwa Bhairawa yang muncul sejak pemerintahan Raja Jayabaya dari
Kediri. Beberapa pejabat pemerintahan Majapahit memeluk agama ini. Agama ini
adalah aliran yang memuja Siwa sebagai Bhairawa. Di India Selatan mungkin
dikenal sebagai aliran Kapalika. Pemujanya melakukan tapa yang sangat keras,
seperti tinggal di kuburan dan memakan daging dan darah manusia (mahavrata).
Di samping agama Siwa, terdapat pula
agama Waisnawa yang memuja Dewa Wisnu, yang dalam agama Siwa, Wisnu hanya
dipuja sebagai dewa pelindung (istadewata).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar